MAN 2 CIREBON

Jalan Merdeka No. 1 Desa Babakan Ciwaringin Cirebon.

MBD

Wisata ziarah di Situ Lengkong Panjalu.

BDK BANDUNG

DIKLAT GURU FIQIH.

MBD

PRAKTIKUM MBD 2 Desa Mekarraharja 2019.

Senin, 16 September 2019

UTS FIQIH


Waktu Pengerjaan: 35:00 menit!

Minggu, 15 September 2019

VCT BATCH 6 JABAR


Dalam pelatihan ini kita akan belajar banyak hal, beberapa materi yang diajarkan adalah sebagai berikut:
  1. Teknik Rekrutmen Peserta Secara Online, flyer digital, dan presensi online
  2. Teknik menulis narasi kegiatan yang menarik
  3. Mengkreasi dan mengelola room webex
  4. Teknik menjadi presenter, host dan moderator secara online
  5. Presentasi online
  6. Berkreasi dengan QR Code
  7. Merekam dan mengupload kegiatan pelatihan ke youtube
Latar Belakang Terbentuknya VCT
  1. Tantangan Revolusi Industri 4.0, Indonesia khususnya di Bidang Pendidikan harus siap.
  2. Diperlukan sharing pengetahuan yang lebih luas jangkauannya.
  3. Kanal vicon di Indonesia (Seminar Online Selasaan dan Sarasehan dalam jaringan) belum mencukupi.
Hak Peserta
  1. Mendapatkan sertifikat internasional sebagai Peserta Virtual Coordinator Training dari SEAMEO secretariat Setara 39 JP yang dapat dipakai untuk Angka Kredit.
  2. Jika Lulus dan mendapat sertifikat maka secara langsung bapak/Ibu adalah menjadi Virtual Coordinator Training di Lingkungan Bapak/Ibu, bisa di daerah, Kab/Kota, Provinsi atau minimal di lingkungan instansi bapak Ibu Bekerja.
  3. Di rekomendasikan menjadi Instruktur Untuk Pelatihan tahap berikutnya.
Kewajiban Peserta
  1. Menjadi Narasumber sebanyak 2 kali dengan materi bebas (yang paling dikuasai)
  2. Menjadi Host sebanyak 2 kali
  3. Menjadi Moderator sebanyak 2 kali
  4. Membuat Flyer
  5. Narasi Flyer
  6. Memendekkan Link/url
  7. Membuat QR Code
  8. Membuat Daftar Hadir Online
  9. Membuat Rekaman Vicon
  10. Mengunggah Rekaman Vicon ke akun youtube masing-masing
  11. Menjadi Peserta sebanyak minimal 6 kali
  12. Mengumpulkan resume (jika dibutuhkan/sesuai kesepakatan)
Apa syarat mengikuti kegiatan pelatihan VCT?
  1. Guru dari jenjang PAUD, SD, SMP, SMA/K, SLB atau sederajat, perguruan tinggi atau masyarakat umum yang memiliki ketertarikan terhadap Virtual Coordinator
  2. Memiliki kemampuan dasar komputer (Ms. Office)
  3. Memiliki jaringan internet yang memadai
  4. Melakukan pendaftaran secara online
  5. Memiliki nomor Whatsapp yang aktif
  6. Memiliki komitmen tinggi untuk mengikuti pelatihan

Selasa, 10 September 2019

Tahapan dalam Pengharaman Khamar

Proses pengharaman khamr, meski di Lauh Mahfuz sudah ada ayat yang menyebutkan pengharaman Khamr seperti ayat 91 dari surat Al-Maidah, tetapi ayat yang turun ( diwahyukan ) tentang pengharaman khamr beangsur-angsur, seperti berikut : Ayat-ayat yang turun berkenaan dengan proses pengharaman khamr yaitu : 1. Surat An-Nahl : 67 وَمِن ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَراً وَرِزْقاً حَسَناً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ Artinya : “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” Dalam ayat ini Allah SWT hanya baru memberi signal bahwa Allah telah memberi karunia kepada manusia berupa dua jenis pohon, yaitu kurma dan anggur. Dari kedua pohon tersebut akan bisa menghasilkan : 1) Minuman keras yang memabukkan dan dapat menghilangkan akal. 2) Rizki yang baik yang bermanfaat buat kehidupan manusia. Dari sini belum ada hukum mengharamkan khamr, hanya signal bahwa dari tumbuhan anggur, bisa dijadikan bahan untuk mabuk, tapi bisa juga dijadikan bahan yang bermanfaat. 2. Surat Baqarah : 219 يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا ﻭﻳﺳـﻟﻭ ﻧﻙ ﻣﺎﺫﺍ ﻳﻧﻔﻗﻭﻥ ۗ ﻗﻝﺍﻟﻌﻓﻭۗ ﻛﺫﻟﻙ ﻳﺑﻳﻥﺍﷲﻟﻛﻡﺍﻻﻳﺕ ﻟﻌﻟﻛﻡ ﺗﺗﻓﻛﺭﻭﻥ Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa'at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” Dalam kitab Asbaabun Nuzuul menyatakan suatu riwayat bahwa : “ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah, beliau mendapati kaumnya suka minum arak dan makan hasil judi. Mereka bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka turunlah ayat Q.S Al-Baqarah : 219, Mereka berkata: “ Tidak diharamkan kepada kita, minum arak hanyalah dosa besar”, mereka pun terus minum arak. Disini mulai mengarah kepada Khamr, bahwa khamr itu ada manfaatnya ( kalau diminum ) tetapi kerugiannya lebih besar. Dari ayat ini Allah baru menunjukkan Kerugiannya. 3. Surat an-Nisaa' : 43 ﻳـﺎﻳﻬﺎﺍﻟﺫﻳﻥ ﺍﻣﻧﻭﺍﻻﺗﻗﺭﺑﻭﺍﺍﻟﺻﻟﻭﺓ ﻭﺍﻧﺗﻡ ﺳﻛﺎﺭﻯ ﺣﺗﻰ ﺗﻌﻟﻣﻭﺍ ﻣﺎﺗﻗﻭﻟﻭﻥ ﻭﻻﺟﻧﺑﺎ ﺍﻻﻋﺎﺑﺭﻱ ﺳﺑﻳﻝ ﺣﺗﻰ ﺗﻐﺗﺳﻟﻭﺍ ۗ ﻭﺍﻥﻛﻧﺗﻡ ﻣﺭﺿﻰﺍﻭﻋﻟﻰﺳﻓﺭﺍﻭﺟﺎﺀﺍﺣﺩ ﻣﻧﻛﻡ ﻣﻥﺍﻟﻐﺎﺋﻁ ﺍﻭﻟﻣﺳﺗﻡﺍﻟﻧﺳﺎﺀ ﻓﻟﻡ ﺗﺟﺩﻭﺍﻣﺂﺀ ﻓﺗﻳﻣﻣﻭﺍﺻﻌﻳﺩﺍﻁﻳﺑﺎﻓﺎﻣﺳﺣﻭﺍﺑﻭﺟﻭﻫﻛﻡ ﻭﺍﻳﺩﻳﻛﻡ ۗ ﺍﻥﺍﺍﷲﻛﺎﻥ ﻋﻓﻭﺍﻏﻓﻭﺭﺍ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci). sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” Dalam kitab Asbaabun Nuzuul menyatakan suatu riwayat bahwa : ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah mengundang makan Ali dan kawan-kawannya. Kemudian dihidangkan minuman khamr (arak/minuman keras), sehingga terganggulah otak mereka. Ketika tiba waktu sholat, orang-orang menyuruh Ali menjadi imam, dan waktu itu beliau membaca dengan keliru, “Qulyaa ayyuhhal kaafiruun, laa a’budu maa ta’buduun, wa nahnu na’budu maa ta’budun” (katakanlah: “Hai orang-orang kafir; aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah; dan kami akan menyembah apa yang kamu sembah). Maka turunlah ayat Q.S An-Nisaa : 43 sebagai larangan sholat dalam keadaan mabuk. Disini sudah menyebut bahwa minum khamr dilarang, tetapi hanya pada saat mau melakukan Sholat. Jadi sudah mulai ada pelarangan, tetapi masih dalam uji coba atau temporary. 4. Surat Al –Maidah : 90 ﻳـﺎﻳﻬﺎﺍﻟﺫﻳﻥ ﺍﻣﻧﻧﻭﺍﺍﻧﻣﺎﺍﻟﺧﻣﺭﻭﺍﻟﻣﻳﺳﺭﻭﺍﻻﻧﺻﺎﺏﻭﺍﻻﺯﻻﻡ ﺭﺟﺱ ﻣﻥﻋﻣﻝ ﺍﻟﺷﻳﻁﻥ ﻓﺎﺟﺗﻧﺑﻭﻩﻟﻌﻟﻛﻡ ﺗﻓﻟﺣﻭﻥ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” Disini sudah menyebut bahwa minum khamr dilarang dan menyatakan meminum Khmar termasuk perbuatan syetan. Dan juga menyatakan dengan menjauhi khmar akan mendapatkan keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat. 5. Surat Al –Maidah : 91 إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ Artinya : “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

Rukhshoh

Safar (perjalanan jauh) merupakan sesuatu yang melelahkan fisik. Bahkan Rasul menyebutnya sebagai sepenggal dari adzab. Sebagimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; السَّفَرُ قِطْعَةٌ من الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ نَوْمَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ فإذا قَضَى أحدكم نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إلى أَهْلِهِ “Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan sulit makan, minum dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa makna hadits tersebut adalah, “Seseorang terhalangi dari kelezatan dan kenikmataan makan, minum, dan tidurnya yang disebabkan oleh kesulitan, rasa letih, cuaca panas, dingin, rasa takut dan was-was serta perpisahan dengan keluarga dan kawan karib” (Syarh Shahih Muslim 13/70) Imam al-Juwaini rahimahullah pernah ditanya tentang sebab penyebutan safar sebagai potongan dari adzab, “karena musafir berpisah dengan orang-orang yang dicintainya”, jawabnya. Oleh karena itu ada beberapa keringanan (rukhshah) yang diberikan oleh syari’at kepada orang yang dalam perjalanan (musafir). Diantara rukshah tersebut adalah; 1. Meng-qashar Shalat Orang yang melakukan perjalanan mendapatkan keringanan untuk meng-qashar shalat. Yakni meringkas shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Keringanan meng-qashar shalat diterangkan oleh Allah dalam surah An-Nisa ayat 101; وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Ayat diatas adalah dalil dibolehkannya mengqashar shalat saat safar. Meski secara literal ayat tersebut mengaitkan safar dengan takut terhadap serangan orang kafir, namun kebolehan qashar saat safar berlaku umum karena ia merupakan rukshah dari Allah. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Ya’la bin Umayyah pernah menanyakan ayat tersebut kepada Amirul Mu’minin Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. “maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. Saat ini orang-orang telah merasa aman. Umar berkata, ‘Aku juga pernah heran seperti kamu. Tapi saya pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu. Rasul menjawab; صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ الله بها عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ “Itu adalah sedekah yang diberikan Allah kepadaa kalian, maka terimalah sedekahnya” (HR. Muslim) Oleh karena itu, meskipun safar yang dilakukan penuh dengan kemudahan dan kenyamanan, keringanan tersebut tetap berlaku. Bahkan hendaknya seseorang tetap mengambil keringanan itu. Karena itulah yang lebih afdhal dan lebih dicintai oleh Allah. Namun jika shalat (berma’mum) di belakang Imam muqim yang shalat sempurna (4 raka’at) Musafir wajib mengikuti Imam, sehingga ia tetap shalat sempurna. Hal ini berdasar pada dalil tentang kewajiban mengikuti Imam. 2. Menjama’ Shalat Selain qashar shalat, musafir juga mendapat keringanan dalam shalat berupa jama’. Yakni menggabungkan dua shalat menjadi satu yang dikerjakan pada satu waktu di awal atau di akhir. Shalat yang dijamak adalah shalat yang 3 dan 4 raka’at, yakni dzuhur-ashar dan magrib-isya. Dalil tentang jama’ diterangkan dalam hadits-hadits nabawi, diantaranya hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika terburu-buru dalam perjalan, maka beliau mengakhirkan shalat maghrib dan menjama’ dengan shalat ‘isya” (Terj. HR. Bukhari & Muslim). Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai perjalanan sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat dzuhur pada waktu ‘ashar dan menjama’nya. Dan jika berangkat setelah tergelincir matahari, beliau shalat dzuhur terlebih dahulu kemudian berangkat” (Terj. HR. Bukhari & Muslim) Dalam hadits yang diriwayatkan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Kami keluar bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam –perjalanan- perang Tabuk. Saat itu beliau shalat dzuhur dan ‘ashr secara jama’ serta maghrib dan isya secara jama’ pula”. (Terj. HR. Muslim). 3. Tidak berpuasa Ramadhan Jika seseorang melakukan safar pda bulan Ramadhan, maka ia memperoleh keringanan untuk tidak berpuasa. Sebagai gantinya, ia mengqadha puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari lain di luar Ramadhan sejumlah hari yang ditinggalkannya. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam surah al-Baqarah ayat 184; وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [٢:١٨٥] maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang berbukanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat safar. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan; أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ أَفْطَرَ فَأَفْطَرَ النَّاسُ “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi menuju Makkah pada bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Ketika sampai di daerah Kadid, Beliau berbuka yang kemudian orang-orang turut pula berbuka. (HR. Bukhari) Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap, “memaksakan diri” tidak termasuk kebaikan (al-birr). Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam suatu perjalanan. Lalu beliau melihat orang-orang berdesak-desakan. Di sana ada seorang pria dinaungi orang-orang karena kelihatan lemah. “Ada apa dengannya?” tanya Rasul. “Ia sedang puasa”, jawab para sahabat. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; ليس من الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا في السَّفَرِ “Tidak termasuk kebaikan puasa saat safar” (HR. Muslim) Dalam riwayat lain; عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ الذي رَخَّصَ لَكُمْ “Hendaknya kalian mengambil rukhshah yang diberikan Allah kepada kalian” Namun jika musafir berpuasa, maka puasanya tetap sah, dan tidak berkewajiban mengqadha. Bahkan sebagian Ulama berpendapat bahwa jika seseorang memperoleh kemudahan dalam safarnya, maka yang afdhal baginya adalah tetap berpuasa. Karena hal itu lebih cepat melepaskan bebannya. Selain itu hadits lain dijelaskan bahwa Rasulullah kadang berpuasa saat safar, dan kadang pula tidak berpuasa. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat safar terkadang berpuasa dan kadang berbuka. Maka siapa yang ingin tetap berpuasa, dipersilahkan. Dan siapa yang ingin berbuka juga dipersilahkan”. (HR. Bukhari)

Senin, 09 September 2019

Ayat alquran tentang muamalah

1. Jual Beli Ayat alquran tentang muamalah sangat banyak penjelasannya di dalam alquran. Bahkan dalam penjelasannya, sampai dijelaskan secara detail baik itu cara dalam jual beli nya, etika dalam jual belinya dan sampai tidak sah nya sebuah jual beli. Sehingga memang bagi seorang muslim, haruslah senantiasa melihat dan mentadaburi makna dari ayat jual beli. Ketika seorang muslim memahami dan memaknai ayat – ayat tentang jual beli ini niscaya tindakan penipuan, pemalsuan barang yang dijual akan dapat dihindari. Sehingga dari kedua belah pihak akan merasa diuntungkan satu dengan yang lainnya. Inilah mengapa dari setiap aktifitas seorang muslim, dijelaskan secara detail tujuannya ialah agar berlaku baik dan benar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. [al Baqarah : 275]. 2. Sewa Menyewa Aktifitas yang sering dilakukan seorang muslim yaitu sewa menyewa akan barang dan jasa. Yang mana masih ada banyak perilaku yang kurang baik dan benar pada proses ini, sehingga memang harus ditanamankan jiwa dan perilaku yang mencerminkan sesuai yang ada pada alquran. Kita ketahui bersama jika sewa menyewa ini haruslah ada akad dan haruslah ada tulis menulis, sehingga ada bukti sah dari kedua belah pihak. Saat ini yang sering terjadi ialah kurangnya dokumentasi sehingga terjadi berbagai permasalahan pada proses sewa menyewa. Padahal dalam alquran telah diterangkan secara detail tentang transaksi sewa menyewa ini. 3. Ju’alah/hadiah (sayembara) dan penjaminan: … وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ (يوسف: 72) “… dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (Yusuf: 72) 4. Pembukuan utang-piutang: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ … (البقرة: 282) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai (seperti berjualbeli, utang–piutang, sewa menyewa dan sebagainya) untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (Al-Baqarah: 282)

Ayat alquran tentang ibadah

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. QS Al-Baqarah : 21 Hai manusia يَاأَيُّهَا النَّاسُ sembahlah Tuhanmu اعْبُدُوا رَبَّكُمُ yang telah menciptakanmu الَّذِي خَلَقَكُمْ dan orang-orang yang sebelummu خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ agar kamu bertakwa لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ Syarah Ayat : Ayat ini adalah sebuah perintah bagi seluruh manusia untuk menyembah Allah ta'ala. Karena Dialah yang telah menciptakan manusia. Baik manusia terdahulu ataupun manusia yang akan datang. Perintah menyembah atau beribadah dalam ayat ini memiliki makna yang luas, tidak hanya penyembahan dalam arti ibadah mahdhah saja, melainkan ibdah dalam arti luas. Ayat ini memiliki korelasi yang kuat dengan tujuan dari diciptakannya jin dan manusia, yaitu untuk beribdah kepadaNya saja. Dalam ayat ini juga terdapat kewajiban untuk beribadah kepadaNya saja. Karena Alloh adalah Pencipta yang telah memberikan berbagai kenikmatan dan menciptakan manusia dari ketiadaan, Dia juga telah menciptakan umat-umat sebelum kita. Nikmat yang diberikannya berupa nikmat yang nyata dan nikmat yang tidak nampak. Dan menjadikan bumi sebagai tempat tinggal dan tempat berketurunan, bercocok tanam, berkebun, melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lainnya serta manfaat bumi lainnya. Dan Dia juga telah menciptakan langit sebagai sebuah atap bangunan yang telah Dia letakan padanya matahari, bulan dan bintang. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di menyatakan bahwa perintah dalam ayat ini bersifat umum untuk seluruh manusia. Sifat perintahnya sendiri umum yaitu untuk beribadah dengan segala bentuk ibadah, yaitu melaksanakan semua yang diperintahkanNya dan menjauhi yang dilarangNya serta membenarkan kabar-kabarnya. Hal ini sebagaimana perintah Alloh ta'ala dalam QS Adz-Dzariyat : 56. Allah ta'ala berfirman : وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS Adz-Dzaariyat : 56. Ayat ini menegaskan tentang tujuan diciptakannya jin dan manusia di muka bumi ini, yaitu untuk beribadah kepadaNya. Makna ibdah dalam pengertian yang komprehensif disebutkan oleh Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, beliau menyebutkan : العبادة هى اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والاعمال الباطنة والظاهرة Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai oleh Alloh dan yang diridhaiNya berupa perkataan atau perbuatan baik yang berupa amalan batin ataupun yang dhahir (nyata). Dari pendapat ini berarti setiap aktifitas kita yang dicintai dan diridhaiNya maka semua itu adalah bagian dari ibadah. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ibadah (Al Khairaat / Al Ihsaan) adalah semua kerja manusia (baik perkataan maupun gerak fisik dan hati) yang mencakup kerja yang murni berhubungan dengan Khaliqnya maupun kerja yang berhubungan dengan sesamanya dalam manifestasi politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain serta kerja yang berhubungan dengan lingkungan hidup yang kesemuanya dengan syarat masuk dalam lingkup keridhaan dan kecintaan Allah. Membahas tentang ibadah maka wajib bagi kita untuk mempersembahkan ibadah, seperti berdoa, meminta perlindungan, memohon pertolongan, bernazar, menyembelih kurban, tawakal, takut, berharap dan mencintai selain kepada Allah Ta'ala adalah perbuatan syirik, meskipun perbuatan itu dilakukan kepada malaikat, seorang nabi utusan, atau kepada hambaNya yang shaleh. Salah satu sendi utama ibadah ialah beribadah kepada Allah dengan penuh rasa cinta, rasa takut dan penuh harap dengan menyeluruh. Beribadah kepada Allah dengan sebagian daripadanya tanpa yang lain, juga kesesatan. Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara. Pertama : Sebab. Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini -yaitu : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab - adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah. Kedua : Jenis Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing. Ketiga : Kadar (Bilangan). Kalau seseorang yang menambah bilangan raka'at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid'ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah. Keempat : Kaifiyah (Cara). Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syari'at. Kelima : Waktu. Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam. Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid'ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i'tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid'ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja. Keenam : Tempat. Andaikata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari'at, Contoh lainnya : Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta'ala. وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَالْقَآئِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ "Artinya : Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf". [Al-Hajj : 26]. Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu : Pertama : Ikhlas dan kedua : Mutaba'ah. 1. Ikhlas, Hal ini berintikan 2 hal : a. Iman : semua aktifitas harus dilandaskan pada keimanan. b. Ihtisab : semua aktifitas harus bertujuan mencari ridha Allah Dari Amirul mukminin Abu Hafshin Umar Ibnul Khothob t, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah r bersabda : Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niat, dan untuk setiap orang itu sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya akan diterima Allah dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ia inginkan atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya akan sampai kepada apa yang dia niatkan.” Imam Asy Syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman bin Mahdi, Ali Ibnu Al Madini, Abu Daud, Ad Daruquthni dan lain-lain berkata : “Bahwa hadist ini sepertiga ilmu”…Al Baihaqi memberikan arahan tentang makna sepertiga ilmu tersebut “bahwa usaha / aktifitas seorang hamba dilakukan pada tiga hal : hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya. Maka, niat merupakan salah satu di antara tiga bagian tersebut. Bahkan, niat merupakan yang paling akurat, dikarenakan dia merupakan ibadah tersendiri yang dibutuhkan oleh ibadah lainnya”. Ikhlas karena Allah I dalam beramal adalah salah satu syarat diterimanya amal. Karena, Allah I tidak menerima amal kecuali yang dikerjakan dengan ikhlas karena-Nya. Sedangkan 2 makna ikhlas yaitu iman dan ihtisab ada pada sabda Rasulullah : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa yang berpuasa dengan penuh iman dan ihtisab (mencari ridha Allah), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta manusia, akan tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan mereka. Nilai seseorang tidak terletak pada besarnya badan, mulianya keturunan, kerennya penampilan dan tidak pula pada popularitas dan kredibiltasnya di mata manusia. Nilai mereka yang sebenarnya di sisi Allah adalah terletak pada iman mereka, yang tercakup di dalamnya amal perbuatan yang lahir karena iman serta jiwa ikhlas yang menyertai amal. Hal tersebut berarti bahwa salah satu fokus perhatian utama manusia harus ditumpukan pada motif dan tujuan suatu pekerjaan; bukan sekedar bentuknya. Setiap pekerjaan itu ada tubuh dan ruhnya; tubuh adalah bentuk luar yang terlihat dan terdengar. Sedangkan ruhnya adalah niat yang mendorong dilakukannya pekerjaan itu dan jiwa ikhlas yang menyertainya. Tanpanya, sebuah pekerjaan tidak diterima Allah. Allah I berfirman : وَ مَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus,. (QS. Al Bayyinah :5) 2. Mutaba’ah (sebuah amal harus mengikuti tuntutan dan tuntunan Rasulullah. Allah berfirman : لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ “Sesungguhnya pada diri Rasulullah r ada contoh tauladan yang baik orang yang berharap kepada Allah dan hari akhir.” (Qs. Al Ahzaab : 21) Contoh tauladan yang baik ada pada Rasulullah r. Karena, orang yang mengikuti beliau adalah orang yang menempuh jalan yang dapat mengarahkannya kepada kemulian Allah I yaitu Shirotol Mustaqim (Jalan yang lurus). Maksudnya bahwa seluruh perkataan dan perbuatan, yang lahir maupun yang batin harus sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah atau dilarang olehNya yang telah dituntunkan dan dicontohkan oleh Rasulullah. Dalam masalah mutaba`ah ini hendaknya kita memperhatikan beberapa kaedah di bawah ini : فالأصل في العبادات البطلان حتى يقوم دليل على الأمر Asal pada hukum ibadah murni adalah bathil sampai ada dalil yang memerintahkannya. والأصل في العقود و المعاملات الصحة حتى يقوم دليل على المنع Asal pada hukum akad dan Mu’amalah adalah sah sampai ada dalil yang melarangnya Dari keterangan tersebut dapat kita simpulkan : Bahwa mutaba’ah dalam ibadah ritual (seperti wudhu, shalat dan lain-lain) yang dipertanyakan adalah apakah ada contoh dan perintah dari Rasulullah r atau tidak yang mencakup antara lain : - caranya : Misalnya cara-cara shalat, wudhu dan lain-lain. - Waktunya : Misalnya waktu shalat, waktu haji dan lain-lain. - Jumlahnya : Misalnya jumlah bilangan shalat malam dan lain-lain. - Jenisnya : Misalnya jenis binatang kurban dan lain-lain. - Syaratnya : Misalnya syarat shalat dan lain-lain. - Sebabnya : Misalnya sebab shalat malam dan lain-lain Melanggar ketentuan tersebut berarti jatuh pada perkara bid’ah. Rasulullah r bersabda : من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد “Barangsiapa yang beramal tanpa landasan perintah kami, maka tertolak.” 1. Bahwa mutaba’ah dalam ibadah Mu’amalah (seperti perekonomian dan lain-lain) yang dipertanyakan adalah adakah larangannya dari Rasulullah atau tidak serta tidak melanggar sistem dan etika bermuamalah yang diajarkan beliau. Yang mencakup antara lain : a. Benda, barang atau bahan yang akan dikerjakan. b. Caranya : - Cara memperolehnya - Cara mengolahnya - Cara menyalurkannya c. Lingkungan kerja : - Orang-orang yang bekerja - Kondisi/tempat bekerja - Waktu bekerja dan lain-lain. Hal tersebut perlu sekali diperhatikan dengan penuh seksama, agar semua perbuatan kita bernilai ibadah di sisi Allah I, dan tidak dipandang sia-sia. Maka, dapat disimpulkan bahwa kita perlu menekankan pentingnya dua perkara dasar di mana suatu amal dapat diterima di sisi Allah dengan terpenuhinya dua perkara tersebut. Pertama, yaitu ikhlas, dilakukan semata-mata karena Allah, bukan karena riya, ingin dipuji atau cinta dunia. Kedua, dilakukan dengan benar dan sesuai dengan Sunnah Allah dalam ciptaanNya dan sejalan dengan petunjuk-petunjuk Allah dalam syari`ahNya. Hal tersebut sesuai dengan penafsiran seorang imam, Fudhail bin `Iyadh ketika mentafsirkan firman Allah I : الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al Mulk :2) Dia berkata bahwa sebaik-baik perbuatan adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ditanyakan kepadanya : “Apa maksud yang paling ikhlas dan paling benar itu ?” Dia menjawab : “Sesungguhnya Allah tidak menerima perbuatan kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan benar. Jika perbuatan itu dikerjakan dengan benar tetapi tidak ikhlas, akan ditolak ; jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, juga ditolak, sampai amal itu ikhlas dan benar. Perbuatan yang ikhlas adalah perbuatan yang dilakukan hanya kepada dan karena Allah. Sedangkan perbuatan yang benar adalah yang sesuai dengan sunnah”. Ibnu Rajab Al Hanbali ketika menjelaskan tiga hadits Rasulullah r yang tercantum dalam kitab Al Arba`in An Nawawiyah yang dinilai sebagai ushul Islam, yaitu : 1. إنما الأعمال بالنيات (hadits, No : 1) 2. من أحدث في أمرنا ما ليس منه فهو رد (Hadits, No : 5) 3. الحلال بين و الحرام بين (Hadits, No : 6) Beliau mengatakan : “Sesungguhnya, seluruh ajaran agama bermuara kepada melaksanakan berbagai perintah, menjauhkan berbagai larangan dan tawaqquf terhadap masalah syubhat, itulah yang terkandung di dalam hadits An Nu`man bin Basyir (Hadits, No : 6). Sedangkan hal tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan perkara : Pertama, amal tersebut secara dzahir harus sesuai dengan Sunnah seperti yang terkandung di dalam hadits `Aisyah t (Hadits, No : 5). Kedua, amal tersebut secara bathin ditujukan mencari wajah dan keridhaan Allah U seperti yang terkandung di dalam hadits Umar (hadits, No : 1)”. Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata : لاَ يَصِحُّ الْقَوْلُ إِلاَّ بِعَمَلٍ وَ لاَ يَصِحُّ قَوْلٌ وَ عَمَلٌ إِلاَّ بِنِيَّةٍ وَ لاَ يَصِحُّ قَوْلٌ وَ عَمَلٌ وَ نِيَّةٌ إِلاَّ بِالسُّنَّةِ “Perkataan tidak shah kecuali dengan amal. Perkataan dan amal perbuatan tidak shah kecuali dengan niat. Perkataan, amal perbuatan dan niat tidak shah kecuali dengan Sunnah”. Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya “Ighatsatul Lahfaan” memberikan nasehat yang amat berharga. Beliau mengingatkan : “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan makhluknya sia-sia tanpa arti. Akan tetapi, Dia menciptakan mereka guna menerima tugas taklif, mengemban amanah perintah dan larangan serta mengharuskan mereka untuk memahami apa yang ditunjukkan kepada mereka, baik secara global maupun secara rinci. Dia telah membagi mereka menjadi dua golongan, golongan yang sa`ied (berbahagia) dan golongan yang syaqiy (celaka). Dia telah menjadikan masing-masing mereka tempat kembali yang harus mereka tempati serta memberikan mereka bahan-bahan ilmu dan amal yang berwujud kalbu, pendengaran, penglihatan dan anggota tubuh lainnya sebagai sebuah kenikmatan dan anugerah yang diberikanNya kepada mereka. Maka, barangsiapa yang menggunakan semua itu dalam rangka menta`atiNya serta berupaya melangkah dalam menempuh jalan mengenal apa yang ditunjukiNya serta tidak menggantikannya dengan perkara lainnya, itu berarti dia telah sukses dalam mensyukuri apa yang diberikan kepadanya, juga berarti dia telah tepat dalam melangkah di jalan keridhaan Allah I. Dan barangsiapa yang menggunakan semua itu hanya untuk segala kemauannya dan hawa nafsunya serta tidak memperdulikan hak Penciptanya, maka pada waktunya dia akan merugi, saat ditanya tentang semua itu serta akan mendapatkan duka yang berkepanjangan. Karena, semua hak anggota tubuhnya itu pasti akan dimintakan pertanggungjawabannya untuk dihisab, berdasarkan firman Allah : إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertang-gunganjawabnya. (QS. Al Israa:36) Sebagaian ulama salaf mengatakan : ‘Tidak ada satu perbuatanpun – sekalipun kecil – kecuali akan diajukan kepadanya dua lembar pertanyaan : mengapa ? dan bagaimana? Yaitu mengapa engkau lakukan ? dan bagaimana engkau lakukan? … Pertanyaan pertama menyangkut apakah engkau melakukannya karena Allah I ataukah karena hawa nafsu dan keinginan-keinginan lain yang engkau harapkan? Dan pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang mengikuti Rasul r dalam melakukan ibadah tersebut. Artinya, apakah amal tersebut adalah sesuatu yang Aku syari`atkan melalui lisan RasulKu ataukah amalan yang tidak Aku syari`atkan dan tidak Aku ridhai? Jalan selamat dari pertanyaan pertama adalah memurnikan keikhlasan dan jalan selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan merealisasikan mutaba`ah (mengikuti dan mencontoh Rasulullah r, pent). Kalbu yang sejahtera berarti selamat dari kehendak yang bertentangan dengan keikhlasan serta hawa nafsu yang bertentangan dengan ittiba`. Inilah hakekat kesejanteraan kalbu yang membawa keselamatan dan kebahagiaan.”

Minggu, 08 September 2019

AYAT ALQURAN TENTANG AKHLAK

Berikut ayat-ayat al-Quran tentang Akhlak (perilaku) manusia Surat Al-Baqarah Ayat 263 قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى ۗ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ Artinya: Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun (Q.S Al-Baqarah: 263) Dalam berinterkasi dengan orang lain, umat Islam diperinyahkan untuk bertutur kata yang baik, sehingga akan meninggalkan kesan yang baik. Dalam bermasyarakat jika ada orang yang bersalah kepada kita maka kita diperintahkan memberi maaf kepadanya. Surat Al Qalam Ayat 1-4 نٓۚ وَٱلۡقَلَمِ وَمَا يَسۡطُرُونَ ١ مَآ أَنتَ بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ بِمَجۡنُونٖ ٢ وَإِنَّ لَكَ لَأَجۡرًا غَيۡرَ مَمۡنُونٖ ٣ وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤ Artinya: 1. Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis 2. berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila 3. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya 4. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (Q.S. Al Qalam: 4) Nabi Muhammad saw. merupakan sosok yang memiliki budi pekerti yang tinggi. Beliau adalah al-Quran yang berjalan, semua sifat dan perilakunya menunjukkan beilau manusia yang memiliki ketaatan yang tinggi. Bahkan sebelum menjadi nabi, beliau sudah mendapat gelar sebagai al-amin yang artinya orang yang dipercaya. Rasulullah juga diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Surat Al-Maidah Ayat 8 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al-Maidah: 8) Dalam ayat ini Allah menyeru kepada umat Islam untuk selalu menegakkan kebenaran di atas muka bumi, selain itu harus bersaksi dengan saksi kesaksian yang adil. Kemudian dalam hal adil harus kepada seluruh umat manusia tanpa memandang latar belakang sosial, agama, pendidikan, dan sebagainya. Berbuat adil akan mendekatkan diri manusia kepada Allah, karena salah satu sifat Allah itu adalah adil. Adil bukan berarti sama, tetapi menempat sesuatu sesuai dengan kebutuhannya, sehingga tidak lahir kecemburuan sosial. Pemerataan pembangunan oleh pemerintah, perkembangan pendidikan yang merata, pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh di Indonesia dan sebagainya. Surat Al-Isra Ayat 37 وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا Artinya: Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung (Q.S. Al-Isra: 37) Iblis diusir dari surga waktu dulu, bukan karena Iblis melakukan dosa besar, hanya karena kesombongannya tidak mau sujud kepada Adam, maka Allah mengusirnya dari surga. Padahal perintah sujud kepada Adam itu bukan menghambakan diri, tetapi hanya sebagai penghormatan saja. Manusia sudah seyogyanya tidak sombong, karena sifat sombong ini hanyalah milik Allah. Apa yang mau kita sombokan? Wajah yang cantik suatu saat akan menua dan memudar, harta yang banyak tidak dapat dibawa mati hanya mengantar sampai di pekarangan kuburan, kekuasaan dan jabatan suatu saat akan hilang, kecerdasan akan hilang juga seiring bertambahnya umur yang semakin tua, dan sebagainya. Suatu saat manusia akan kembali menjadi tanah, sebagainya sebelum penciptaannya. Surat Luqman Ayat 14 وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman: 14) Rasulullah dalam satu hadis bersabda bahwa "ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua, dan kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan kedua orang tua." Berbuat baik kepada kedua orang tua yang telah melahirkan dan memelihara kita dari kecil merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar. Bahkan untuk berkata 'ah' saja kita dilarang untuk melakukannya, karena akan menyakiti hati mereka. Surat Luqman Ayat 18 وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٖ Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Q.S. Luqman: 18) Kesombongan adalah awal dari kehancuran, karena kesombongan itu akan dapat mengakibatkan seseorang merasa dirinya lebih besar dari orang lain. Bahkan untuk memberi senyum saja sulit untuk dilakukan. Dari kesombongan akan membuat seseorang menjadi angkuh kemudian membanggakan dirinya. Seakan orang lain tidak ada apa-apanya, padahal dia tidak sadar bahwa di atas langit masih ada langit lagi. Maka sifat manusia seperti ini sangat dibenci oleh manusia, oleh malaikat, dan juga dibenci oleh Allah. Surat Luqman Ayat 19 وَٱقۡصِدۡ فِي مَشۡيِكَ وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ Artinya: Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Q.S. Luqman : 19) Perintah Allah kepada umat Islam adalah dengan menjadi manusia yang sederhana dan tampil apa adanya. Kemudian melunakkan suara, dalam artian bahwa bertutur kata yang lemah lembut dengan kata-kata yang baik sehingga menyenangkan hati orang lain. Jangan sampai kita berbicara dengan suara keras yang dapat menyakiti hati orang lain, karena berbicara yang buruk itu derajatnya lebih rendah dari hewan. Berbicara yang keras dan lembut ini silahkan diterjemahkan sesuai dengan budaya masayarakat masing-masing. Misalnya orang Indonesia timur berbicara dengan suara keras itu bukan bermaksud untuk menyakiti orang lain, tetapi karena faktor alam yang menyebabkan mereka seperti itu. Mereka tinggal di wilayah pesisir sehingga suara ombak laut dan tiupan angin menyebabkan mereka harus berbicara kerasa agar bisa didengar oleh lawan bicaranya, hal ini berbanding terbalik dengan orang yang tinggal di Indonesia bagian barat. Wallahu a'lam.