Selasa, 10 September 2019

Rukhshoh

Safar (perjalanan jauh) merupakan sesuatu yang melelahkan fisik. Bahkan Rasul menyebutnya sebagai sepenggal dari adzab. Sebagimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; السَّفَرُ قِطْعَةٌ من الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ نَوْمَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ فإذا قَضَى أحدكم نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إلى أَهْلِهِ “Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan sulit makan, minum dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa makna hadits tersebut adalah, “Seseorang terhalangi dari kelezatan dan kenikmataan makan, minum, dan tidurnya yang disebabkan oleh kesulitan, rasa letih, cuaca panas, dingin, rasa takut dan was-was serta perpisahan dengan keluarga dan kawan karib” (Syarh Shahih Muslim 13/70) Imam al-Juwaini rahimahullah pernah ditanya tentang sebab penyebutan safar sebagai potongan dari adzab, “karena musafir berpisah dengan orang-orang yang dicintainya”, jawabnya. Oleh karena itu ada beberapa keringanan (rukhshah) yang diberikan oleh syari’at kepada orang yang dalam perjalanan (musafir). Diantara rukshah tersebut adalah; 1. Meng-qashar Shalat Orang yang melakukan perjalanan mendapatkan keringanan untuk meng-qashar shalat. Yakni meringkas shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Keringanan meng-qashar shalat diterangkan oleh Allah dalam surah An-Nisa ayat 101; وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Ayat diatas adalah dalil dibolehkannya mengqashar shalat saat safar. Meski secara literal ayat tersebut mengaitkan safar dengan takut terhadap serangan orang kafir, namun kebolehan qashar saat safar berlaku umum karena ia merupakan rukshah dari Allah. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Ya’la bin Umayyah pernah menanyakan ayat tersebut kepada Amirul Mu’minin Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. “maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. Saat ini orang-orang telah merasa aman. Umar berkata, ‘Aku juga pernah heran seperti kamu. Tapi saya pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu. Rasul menjawab; صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ الله بها عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ “Itu adalah sedekah yang diberikan Allah kepadaa kalian, maka terimalah sedekahnya” (HR. Muslim) Oleh karena itu, meskipun safar yang dilakukan penuh dengan kemudahan dan kenyamanan, keringanan tersebut tetap berlaku. Bahkan hendaknya seseorang tetap mengambil keringanan itu. Karena itulah yang lebih afdhal dan lebih dicintai oleh Allah. Namun jika shalat (berma’mum) di belakang Imam muqim yang shalat sempurna (4 raka’at) Musafir wajib mengikuti Imam, sehingga ia tetap shalat sempurna. Hal ini berdasar pada dalil tentang kewajiban mengikuti Imam. 2. Menjama’ Shalat Selain qashar shalat, musafir juga mendapat keringanan dalam shalat berupa jama’. Yakni menggabungkan dua shalat menjadi satu yang dikerjakan pada satu waktu di awal atau di akhir. Shalat yang dijamak adalah shalat yang 3 dan 4 raka’at, yakni dzuhur-ashar dan magrib-isya. Dalil tentang jama’ diterangkan dalam hadits-hadits nabawi, diantaranya hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika terburu-buru dalam perjalan, maka beliau mengakhirkan shalat maghrib dan menjama’ dengan shalat ‘isya” (Terj. HR. Bukhari & Muslim). Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai perjalanan sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat dzuhur pada waktu ‘ashar dan menjama’nya. Dan jika berangkat setelah tergelincir matahari, beliau shalat dzuhur terlebih dahulu kemudian berangkat” (Terj. HR. Bukhari & Muslim) Dalam hadits yang diriwayatkan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Kami keluar bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam –perjalanan- perang Tabuk. Saat itu beliau shalat dzuhur dan ‘ashr secara jama’ serta maghrib dan isya secara jama’ pula”. (Terj. HR. Muslim). 3. Tidak berpuasa Ramadhan Jika seseorang melakukan safar pda bulan Ramadhan, maka ia memperoleh keringanan untuk tidak berpuasa. Sebagai gantinya, ia mengqadha puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari lain di luar Ramadhan sejumlah hari yang ditinggalkannya. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam surah al-Baqarah ayat 184; وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ [٢:١٨٥] maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang berbukanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat safar. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan; أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ أَفْطَرَ فَأَفْطَرَ النَّاسُ “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi menuju Makkah pada bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Ketika sampai di daerah Kadid, Beliau berbuka yang kemudian orang-orang turut pula berbuka. (HR. Bukhari) Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap, “memaksakan diri” tidak termasuk kebaikan (al-birr). Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam suatu perjalanan. Lalu beliau melihat orang-orang berdesak-desakan. Di sana ada seorang pria dinaungi orang-orang karena kelihatan lemah. “Ada apa dengannya?” tanya Rasul. “Ia sedang puasa”, jawab para sahabat. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; ليس من الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا في السَّفَرِ “Tidak termasuk kebaikan puasa saat safar” (HR. Muslim) Dalam riwayat lain; عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ الذي رَخَّصَ لَكُمْ “Hendaknya kalian mengambil rukhshah yang diberikan Allah kepada kalian” Namun jika musafir berpuasa, maka puasanya tetap sah, dan tidak berkewajiban mengqadha. Bahkan sebagian Ulama berpendapat bahwa jika seseorang memperoleh kemudahan dalam safarnya, maka yang afdhal baginya adalah tetap berpuasa. Karena hal itu lebih cepat melepaskan bebannya. Selain itu hadits lain dijelaskan bahwa Rasulullah kadang berpuasa saat safar, dan kadang pula tidak berpuasa. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat safar terkadang berpuasa dan kadang berbuka. Maka siapa yang ingin tetap berpuasa, dipersilahkan. Dan siapa yang ingin berbuka juga dipersilahkan”. (HR. Bukhari)

0 komentar:

Posting Komentar