MAN 2 CIREBON

Jalan Merdeka No. 1 Desa Babakan Ciwaringin Cirebon.

MBD

Wisata ziarah di Situ Lengkong Panjalu.

BDK BANDUNG

DIKLAT GURU FIQIH.

MBD

PRAKTIKUM MBD 2 Desa Mekarraharja 2019.

Sabtu, 31 Agustus 2019

HASIL PREDIKSI UAMBN 3

Sabtu, 17 Agustus 2019

Tingkatan nafsu

 


Nafsu dibagi menjadi 8 tingkat yaitu:
  1. Nafsu Amarah bis Su’i
  2.  Nafsu Lawamah
  3. Nafsu Sufiyah/ Sawiyah
  4. Nafsu Muthmainah
  5. Nafsu Mulhalamah
  6. Nafsu Rodhiyah
  7. Nafsu Mardhiyah
  8. Nafsu Kamilah
1. Nafsu Amarah bis su’i
Tingkatan yang pertama nafsu manusia itu adalah NAFSU AMMARAH yaitu nafsu yang membawa manusia kearah kejahatan yang bertentangan dan bertolak belakang dengan keadaan akhlaki manusia itu. Nafsu ammarah menginginkan manusia itu berjalan pada jalan yang tidak baik dan jahat. “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan (amaratun bi suu’), kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 12:53).
Jiwa yang tunduk kepada kelezatan syahwat akan menarik hati ke dalam lembah kebodohan dan kehinaan, ini merupakan dimensi kelicikan, sumber perilaku moral yang tercela, otak selalu berfikir jahat. Buahnya adalah sifat-sifat buruk diantaranya keras kepala, suka mencela, pendendam, mudah tersinggung dan mudah marah, suka sekali dihormati, benci, cemburu, ujub, ria takabur dll.
Report this ad
Pelanggaran dan kejahatan adalah suatu keadaan alami yang bersimaharajalela atas dirinya sebelum ia mencapai keadaan akhlak dan rohani, dimana manusia itu bertindak dibawah naungan pertimbangan akal dan makrifat Ilahi. Seperti halnya hewan berkaki empat dalam segala kebiasaannya, makan minumnya, tidur bangunnya, kawin cerainya, dan segala kebiasaan lainnya, manusia cenderung mengikuti dorongan alami yang disebut dengan “thabi’i” (pembawaan alam). Orang seperti ini cenderung memikirkan sesuatu dan mengerjakan sesuatu hanya untuk bermaksiat (zina, mabuk, mencuri, dsb). 
Nafsu amarah dapat membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tujuan untuk menandingi lawan dan mencapai status sosial yang lebih tinggi. Jika seorang atau suatu bangsa yang maju ilmu dan teknologinya telah dikuasai oleh nafsu amarah, maka hasil kemajuannya itu akan dijadikan alat untuk kemaslahatan umat manusia. Dalam kitab Al Risalat Al Qusyairiyah, Al Qusyairi mengatakan, nafsu amarah adalah yang mendorong kepada kehancuran, membantu musuh manusia (setan) dan memiliki banyak keburukan.
2. Nafsu Lawamah
Tingkatan kedua dari martabat manusia berasal dari sumber yang disebut NAFSU LAWWAMAH. Dalam Qur’an Allah berfirman tentang adanya jiwa Lawamah ini, “Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah pada jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)…” (QS 75:1-2)
Allah Ta’ala bersumpah dengan nafsu lawwamah  untuk memberikan penghormatan kepada manusia karena adanya peningkatan dari “nafsu ammarah” kepada “nafsu lawwamah” karena merupakan kemajuan manusia dari tingkatan hewani kepada tingkatan insani sehingga layak menerima kehormatan dari sisi Allah.
Disebut “nafsu lawwamah”, karena jiwa manusia senantiasa mencela setiap kejahatan dan tidak menyenangi tingkah laku yang sewenang-wenang dalam memenuhi keinginan alami laksana hewan berkaki empat.  Nafsu Lawwamah menghendaki manusia untuk menghayati keadaan yang baik serta budi pekerti yang luhur dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup. Jadi, karena jiwa itu menyesali tindakannya yang buruk maka ia dinamakan “nafsu lawwamah”,yaitu nafsu yang sangat menyesali.
Report this ad
Kendatipun “nafsu lawwamah” itu tidak menyukai keadaan “alami” yang cenderung kepada kejahatan,bahkan sering menyesali dirinya sendiri yang dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan yang “akhlaki” belum menguasai diri sepenuhnya. Kadang-kadang perasaan alaminya mengalahkannya, kemudian ia tergelincir dan jatuh.  Martabat akhlaki dicapai oleh jiwa itu ketika telah terkumpul dalam dirinya “budi pekerti luhur” serta jera dari berbuat kedurhakaan, akan tetapi belum lagi menguasai diri sepenuhnya.
Cahaya yang terkadang hidup dan terkadang mati di dalam lubuk hati manusia, suatu saat berbuat maksiat di saat lain ia menyadari perbuatannya dan menyesal, dan saat lain ia mengulanginya lagi. Kondisi ini merupakan sumber penyesalan, ia sebagai penggerak hawa nafsu. Diantara sifat-sifatnya adalah suka makan enak dan banyak, rakus, serakah, korup, pelit, mempunyai ambisi kekuasaan yang sangat besar dan suka memperkaya diri.
Seseorang dalam kategori ini kadang sebenarnya jiwanya baik, atau imannya cukup baik. Tapi karena dorongan/keinginan syahwatnya juga besar, sehingga tidak dapat dikendalikan oleh iman dan akhlaknya, akhirnya sering dimenangkan oleh syahwatnya sehingga ia bermaksiat. Pribadi seperti ini disebutkan dalam kitab Tazkiyatun Nafs sebagai pribadi yang selalu menyesali dirinya. Karena kerap setelah melakukan maksiat, iman dan akhlaknya kembali baik kemudian dia menyesal.  Nafsu Lawamah (jiwa yang menyesali dirinya sendiri) dijelaskan bahwa bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apa lagi bila ia berbuat kejahatan.
Pada tingkatan yang lebih parah, jiwa lawamah ini akan mendorong seseorang menjadi menyesal terhadap Allah (su’udzon kepada Allah), karena sesal yang dia rasa tidak mempunyai solusi akhirnya menyalah Allah. Ini sama saja menyalahkan takdir Allah. Orang yang menyalahkan takdir Allah berarti tidak beriman pada rukun iman yang ke-6. Bila tidak beriman pada satu rukun saja berarti sama saja tidak beriman (dipertanyakan keimanannya pada agama Islam).
Dunia materi adalah obyek nafsu lawamah, karena harta benda dapat memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia. Nafsu lawamah dapat mendorong orang mencari harta dan harta adalah sesuatu yang dapat membawa kemajuan. Karena orientasinya kepada harta, maka seseorang yang dikuasai oleh nafsu lawamah pandangan hidupnya bersifat materialistik dan mementingkan lahiriyah. Karena keserakahannya, ia tidak pernah puas. Kalau nafsu lawamah ada pada orang kaya, ia tidak mau bersyukur, tidak mau memberi sedekah dan sebagainya. Dan jika ada pada orang miskin, maka orang itu tidak punya kesabaran bahkan cemburu, iri hati dan sebagainya yang dapat menyebabkan ketegangan jiwa. Nafsu serakah juga dapat menyebabkan timbulnya rasa sangat mencintai harta (al hirshu) dan ketamakan. Dan karena sifat inilah maka orang bersifat materialistik dan egois.
Report this ad
Selain syahwat jasmani seperti keinginan kepada makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya yang menjadi obyek nafsu amarah, juga keinginan yang bersifat maknawiyah (psikis dan sosial) seperti perasaan ingin dipuji, mencintai kedudukan, pangka dan status sosial lebih tinggi.
Keinginan nafsu-nafsu dalam diri manusia, seperti diterangkan para ulama, mempunyai faedah. Misalnya dorongan nafsu seks berfaedah untuk melangsungkan keturunan manusia. Selain itu, menurut Ibnu Qudamah nafsu seks juga berfaedah agar manusia dapat merasakan sebagian kenikmatan akhirat. Supaya besar kerinduannya untuk menikmatinya kembali kelak di akhirat.
Tetapi nafsu seks berupa rangsangan erotik juga menyebabkan terjadinya malapetaka besar jika tidak terkendali. Ia berfaedah ketika tersalur secara benar. Nafsu lawamah sebenarnya nafsu yang baik. Namun tingkatannya berada di bawah nafsu muthmainah. Nafsu ini sering terkalahkan oleh sifat loba, rakus dan sebagainya sehingga menjadi nafsu yang tercela pula.
3. Nafsu Sufiyah/Sawiyah
Cahaya yang sangat lemah/kondisi hati yang remang-remang, sudah dapat dipastikan bahwa ia tidak dapat lagi membedakan mana yang baik dan jelek, benar atau salah, seluruh kehidupannya hanya ditujukan kepada dunia saja, ia lupa bahwa ada kehidupan lain yaitu kehidupan yang kekal (akhirat), Cita-citanya hanya pada kenikmatan yang bersifat semu dan sementara.Ciri-cirinya adalah suka memuji diri sendiri, memperindah diri, suka mencampuri urusan orang lain, senang bila orang lain celaka, perayu, selalu merintangi jalan menuju kebaikan, dan senang mendukung pada perbuatan yang maksiat.
4. Nafsu Muthmainah
Inilah tingkatan terakhir dari perkembangan jiwa manusia,dimana manusia itu bebas dari segala kelemahan. Dalam keadaan ini jiwa manusia itu dipenuhi oleh kekuatan-kekuatan rohani seakan-akan tercangkok dengan wujud Allah Ta’ala sehingga jiwa manusia itu merasakan tidak bisa hidup tanpa Dia. Laksana air yang mengalir dari atas kebawah yang karena banyaknya dan tiada sesuatupun yang menghambatnya, maka air itu terjun dengan derasnya, begitu juga jiwa manusia  tak henti-hentinya mengalir terus dan menjurus kepada Tuhan. Al-Qur’an menyebut sumber keadaan ini dengan NAFSU MUTHMAINNAH sebagaimana difirmankan-Nya dalam ayat berikut: “Yaa ayya tuhannafsul muthmainnah. Irr ji’ii ilaa Rabbiki radhiyatan mardhiyah. Fad khulii fi’ibaadi. Wad khuli jannatii”. Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah kedalam syurga-Ku. (89:27-30)
Report this ad
Jiwa yang menerangi hati dengan cahaya Nya yang murni dan terang benderang, sehingga hati terlepas dari sifat-sifat yang tercela dan dapat bertahan pada tingkat kesempurnaanya dan apabila keadaan ini mengekal dimana badan lahir dan badan batin terisi energi yang dipancarkan oleh Sang Ruh, maka seluruh badannya akan terbawa kepada kebenaran.
Ringkasnya didalam hidup ini jugalah dan bukan sesudah mati, manusia itu harus menciptakan perubahan yang gilang gemilang dari keadaan alami, kepada keadaan akhlaki yang selanjutnya menuju rohani. Didalam dunia ini juga bukan ditempat lain manusia menemui kehidupan syurga yakni ketentraman. “Kembalilah kepada Rabbmu (yakni yang memeliharamu)”, dimana ia mendapat pemeliharaan dari Tuhan.
Kecintaan Tuhan ia rasakan dalam keadaan ini dan merupakan gizi makanan baginya.
“Sesungguhnya beruntunglah (meraih kemenangan) orang yang mensucikan jiwa itu
dan sesungguhnya merugilah (menderita kekalahan) orang yang mengotorinya”.
(91;9-10)
Nafsu muthmainah adalah nafsu yang tenang dan setia, membimbing manusia hidup berbakti kepada Allah. Jika nafsu ini berada pada orang kaya ia tidak akan tamak dan tidak rakus dengan kekayaannya. Tangannya selalu terulur memberi pertolongan kepada siapa saja. Orang yang bernafsu muthmainah hatinya lunak menerima ajaran Allah dan ibadahnya bertambah-tambah. Bilamana mendapat ujian yang tidak menyenangkan, ia akan menerimanya dengan sabar dan tenang. Dia juga tidak mau hidup senang sendirian dan melupakan masyarakat sekelilingnya yang perlu ditolong. Amal sosialnya banyak, rendah hati dan sebagainya.
Sebagai salah satu contoh yang sangat baik untuk menggambarkan jiwa muthma’inah ini dilukiskan oleh Ustadz Musthafa Mansyur seorang ulama di Mesir dalam bukunya, yaitu kisah seorang ulama Mesir zaman dahulu yang di penjara oleh penguasa saat itu. Dengan kejam ia di penjara bersama dengan seekor singa. Penguasa itu berharap sang ulama akan memohon-mohon ampun kepadanya untuk membuktikan bahwa penolongnya yang sebenarnya bukanlah Allah, tapi si Penguasa itu, dan yang lebih berkuasa bukan Allah tapi dia. Tetapi setelah satu minggu di penjara, kemudian dikeluarkan dari selnya, ulama itu tampak baik-baik saja. Air mukanya tetap teduh dan tetap tersenyum. Ketika ditanya alasannya mengapa bisa demikian, sang ulama menjawab:
Report this ad
“Aku memiliki obat yang terdiri dari tujuh komposisi.”
“Obat? Apa itu?”
Ulama itu menjawab:
Pertama, Saya yakin kepada Allah dengan sepenuhnya bahwa semua yang ditakdirkan Allah itu baik untukku, walaupun tampak zahirnya (nyatanya/fisiknya) terlihat buruk. Dengan kata lain selalu berhuznuzon (berprasangka baik) pada Allah.
Kedua, Saya sadar bahwa takdir Allah pasti terjadi, tidak ada tempat untuk saya berlari. Saya ridha karena Allah. Jadi takdir Allah yang telah digariskan pasti akan terjadi, tidak seorangpun dapat menghindar. Firman Allah yang artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 57:22)
Ketiga, Keadaan saya sekarang ini adalah ujian dari Allah dan keberhasilan melalui ujian ini adalah bersikap sabar dan berharap mendapat pahala. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS 2:214)
Maksud dari ayat ini adalah, sebelum dikategorikan orang yang masuk surga, iman seseorang itu diuji dulu oleh Allah. Apakah karena musibah yang menimpanya seseorang itu menjadi futur (luntur imannya) atau dia sabar menjalaninya sampai menunggu pertolongan Allah. Fenomena sekarang ini adalah manusia baru mengingat Allah ketika ia dalam kesusahan, ketika kesusahan itu sirna, ia kembali futur, hal ini dijelaskan Allah dalam firmannya: “Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterimakasih.” (QS 17:67)
Report this ad
Keempat, Bila saya tidak bersabar maka keuntungan apa yang bisa saya petik dari cobaan ini. Tidak ada, bukan?
Kelima, Saya yakin diluar sana ada orang yang penderitaannya lebih berat dari saya. Jadi saya bersyukur kepada Allah karenanya. Intinya adalah untuk menghindari perasaan mengasihani diri sendiri, cobalah untuk melihat penderitaan orang lain yang ternyata lebih berat dari penderitaan diri sendiri.
Keenam, Saya menyadari bahwa musibah yang menimpa saya tidak mengusik agamaku, karena musibah yang sesungguhnya adalah musibah pada agamaku (Islam).
Ketujuh, dari waktu ke waktu saya selalu menunggu pembebasan dari Allah. Maksudnya Ulama ini sangat yakin Allah pasti akan membeli jalan keluar.
5.      Nafsu Mulhalamah
Pada tingkat ini setelah hati bersih dari pengaruh nafsu dan pengetahuan yang sudah   diprogram (Ilmu Laduni) oleh TUHAN kedalam Ruh sudah aktif, dimana sifat-sifat Ketuhanan yang disandangnya merupakan  kebalikan dari pada sifat-sifat nafsu. Ruh merupakan sumber dari segala sumber kebaikan sebagai pakaian yang disandang oleh manusia seperti sifat sabar, tawakal, tawadhu, syukur dll.
6. Nafsu Rodhiyah
Jiwa yang selalu rela terhadap Tuhannya, ia terkondisi di dalam kelembutan, ketenangan, kesejahteraan dalam berbagai keadaan dan merasa puas atas nikmat dengan keadaan apa adanya.
7. Nafsu Mardhiyah
Jiwa yang diridhoi oleh Tuhannya, ia dalam kondisi selalu ingat kepada Tuhannya. Dalam tingkat ini manusia meletakkan fikirnya di atas jalan mendekati Makrifat kepada Tuhannya, ia mengenal Tuhannya dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya.Lahirlah sifat Tuhannya kepadanya dalam sikap dan perbuatannya.
Report this ad
8.Nafsu Kamilah
Jiwa yang sudah sampai pada kesempurnaanya dalam bentuk dan karakteristiknya, ia meningkat dalam kesempurnaanya.Jiwa yang sudah dianggap cakap untuk kembali kepada Tuhannya, pekerjaannya memberi mamfaat kepada orang lain dan menyempurnakan amal shalihnya. Maka manusia yang berjiwa inilah yang berhak memakai gelar Mursyid dan Mukamil. Kedudukanya adalah pada tingkat Tajali Asma serta sifat dan kondisinya Baqabillah, pergi kepada Tuhan, kembali dari pada Tuhan kepada Tuhan, tidak ada tempat/media lain selain Tuhan, Tiada memiliki ilmu melainkan Tuhan langsung pengendalinya, ia fana pada Tuhan.
Ketenangan adalah kebutuhan hidup manusiawi yang didambakan semua insan. Ketenangan hakiki akan diperoleh seseorang jika ia mampu menaklukkan hawa nafsu dalam dirinya. Dalam bahasa Arab ketenangan adalah sakinah dan thumaninah, dengan makna yang agak berbeda. Dalam kitabnya, Madarijus Salikin, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengatakan : “Asal kata sakinah ialah thumaninah, yaitu tenang, tetap dan tentram yang Allah turunkan keadaan semacam ini dalam hati hambaNya ketika merasa gelisah karena sangat takut…Maka ia menjadi tidak bingung, tidak bimbang dan tidak ragu setelah itu karena sesuatu yang datang kepadanya dan wajib baginya menambah imannya, keyakinannya dan ketetapan hatinya.”
Suasana tenang dapat disebabkan oleh faktor keadaan jiwa dan diri individu sendiri. Oleh karena itu tidak heran jika dalam upaya memenuhi salah satu kebutuhan hidupnya manusia memerlukan benda. Tidak heran juga kalau dikatakan harta benda merupakan salah satu sarana untuk memperoleh ketenangan.
Tapi harta tidak menjamin sepenuhnya memberi rasa tenang, sehingga sering orang punya banyak harta tapi hidupnya diliputi kegelisahan. Bahkan karena banyak harta, orang rusak jasmani dan karena berfoya-foya.
Ketenangan sebenarnya bersifat kejiwaan. Dan harta hanya sarana memperoleh ketenangan itu. Dalam hubungan ini Dr. Hamzah Yakub mengatakan, diantara kenikmatan, ketenangan dan kebahagiaan, ada yang diperoleh karena sikap dan aktivitas batin yang telah menjadi watak dan pribadi seseorang. Misalnya syukur, ikhlas, ridha dan sebagainya. Ada pula yang diperoleh karena perjuangan dan kerja keras misalnya, sabar dan mujahadah melawan hawa nafsu. Serta ada pula yang diperoleh karena melaksanakan prinsip-prinsip akhlak yang diajarkan Rasul SAW dalam hubungan sesama manusia. Dan ada kenikmatan spritual yang diperoleh dalam beribadah seperti, menghayati puasa, khusyu’ dalam shalat, dzikir, doa dan istighfar.
Report this ad
Ketenangan dapat diperoleh dengan bersikap dan aktivitas batin yang baik. Kebahagiaan yang sama dapat diraih pula oleh orang yang berhasil melawan ajakan nafsu yang buruk. Juga dapat dirasakan oleh orang yang baik akhlaknya dan ibadahnya. Orang yang berhasil dalam berjihad melawan nafsu dengan kendali ajaran Allah dan RasulNya, akan hidup tenang dan membawa ketenangan pula kepada lingkungan sosialnya. Karena ia telah memiliki sikap mental yang baik dan suci, berakhlak baik dan mulia serta berhasil baik dalam melakukan dan menghayati tugas ibadah yang diwajibkan kepadanya. Sebaliknya, orang yang terus mengikuti hawa nafsunya akan banyak merasa gelisah. Terkadang menimbulkan bencana bagi dirinya dan orang lain. Orang yang bertakwa kepada Allah akan tetap tenang dalam kebenarannya baik ketika senang maupun sedih. Sekalipun mengalami kegagalan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, ia tidak mengadakan reaksi agresif dan membabi buta, tetapi tetap memberikan reaksi positif, sabar menanti dan rela menerima cobaan dari Allah dan tawakal kepadaNya. Suasana tenang pada diri Mukmin dinyatakan Allah dalam surat Al Ra’du ayat 28-29 : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tentram dan tenang. Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.”
Dengan modal iman kepada Allah dan selalu mengingatNya, dimana dan dalam keadaan manapun ia berada, orang akan dapat merasakan ketenangan hakiki. Di akhirat ia akan mendapatkan kebahagiaan dan tempat yang baik sebagai balasan dari Allah atas iman dan amal shalehnya.Orang mukmin dan takwa yang tetap beramal shaleh dan tidak menuruti kehendak nafsunya, hingga di pintu matinya pun tetap tenang karena amal shaleh yang dikerjakan saat hidupnya membekali dan membuatnya siap menghadapi saat krisis itu.
Karena nafsu mengajak kepada yang jahat, maka perlu ditundukkan. Menundukkannya dinilai sebagai jihad besar. Jihadun nafsi berarti mencurahkan segala usaha, kekuatan dan kemampuan yang penuh kesungguhan dalam memerangi musuh yang ada dalam diri, yaitu kecenderungan yang disebabkan oleh dorongan nafsu yang hendak menjerumuskan manusia. Menangkal godaan setan dan ajakan nafsu tercela sama-sama dipandang sebagai jihad besar. Tetapi jihadun nafsu bisa dipandang lebih besar dan lebih sulit.

Jumat, 16 Agustus 2019

Prediksi uambn 3


Waktu Pengerjaan: 60:00 menit!

Kamis, 15 Agustus 2019

PERBEDAAN HAWA (HAWA NAFSU) DENGAN SYAHWAT (DAYA OFENSIF)

 Hasil gambar untuk hawa nafsu


PERBEDAAN HAWA (HAWA NAFSU) DENGAN SYAHWAT (DAYA OFENSIF)

Dalam diri manusia (self/ nafs) telah terinstal banyak hal yang berfungsi untuk menujang kehidupannya. Namun, seluruhnya itu ada pada jiwa untuk menguji sejauh mana manusia taat pada Rabb-Nya.

Menurut Al-Ghazali, pada masa alam Ruh, manusia merupakan sosok yang bersih, tanpa ada keinginan untuk melakukan apapun yang bersifat duniawi. Namun, saat ruh telah bersatu dengan jasad, muncullah daya ofensif (syahwat) yang berfungsi menarik segala hal yang bermanfaat, menyenangkan, atau mengenyangkan. Allaah berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap syahwat (apa-apa yang diinginkan), berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. (QS. Aali Imran: 14)

Jadi, Allaah sendiri yang menanamkan pada diri manusia daya ofensif (syahwat) sehingga manusia tertarik pada perempuan, anak-anak, atau harta benda yanh berupa emas, perak, tunggangan, ternak, sawah, atau ladang. Jadi syahwat adalah ketertarikan manusia atas berbagai kenikmatan dunia.

Mengapa Allaah menanamkan syahwat? Agar manusia bisa bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.

Syahwat terhadap perempuan dan kecintaan anak-anak yang membuat generasi baru terlahir setiap saat. Dan syahwat terhadap harta benda membuat manusia bekerja dan berusaha. Allaah telah mengizinkan manusia mendapatkannya, selama berada di atas jalur yang halal, dan tidak membuatnya lalai dari urusan akhirat.

Bersamaan dengan itu, Allaah juga menanamkan pada diri manusia kecenderungan untuk berbuat fujur (keburukan), sebagaimana firman-Nya:

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, (QS. Asy-Syams: 8 )

Kecenderungan untuk berbuat fujur diistilahkan Al-Hawa (Hawa Nafsu; hawa = kecenderungan, nafsu = jiwa). Secara bahasa, hawa artinya kecenderungan jiwa, bisa terhadap sesuatu yang baik, bisa terhadap sesuatu yang buruk. Namun, secara istilah, hawa artinya adalah kecenderungan jiwa manusia yang menyelisihi kebenaran.

Karena sifatnya selalu menyelisihi kebenaran, maka hawa diperintahkan untui dicegah dan dilawan. Bahkan, Allaah menjanjikan surga bagi siapa saja yang sanggup menahan tarikan hawa:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya,

فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ

maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya). (An-Naziat: 40-41)

Jadi, ada sedikit perbedaan antara syahwat dan hawa. Syahwat digambarkan sebagai daya ofensif atau dorongan dalam diri manusia terhadap hal-hal yang disukainya. Sedangkan hawa merupakan dorongan yang selalu menyelisihi kebenaran.

Saat syahwat telah dikuasai hawa, maka tidak ada yang tersisa kecuali keburukan. Karenanya, syahwa mesti dikendalikan agar senantiasa berada di atas tracknya. Yakni menyalurkannya pada tempat-tempat yang halal.

Bila syahwat mulai mendorong kita untuk makan dengan memunculkan rasa lapar, maka makanlah makanan yang halal. Bila syahwat mulai mendorong kita untuk mencintai harta dunia, maka carilah jalan-jalan yang halal. Bila syahwat mendorong kita untuk berhasrat kepada wanita, maka salurkanlah keinginan tersebut hanya pada yang halal.

Demikianlah tugas kita, senantiasa mencegah diri dari dorongan hawa, serta mengendalikan syahwat agar ia tidak keluar dari track kebenaran. Siapa yang bisa menahan hawa dalam dirinya dan berhasil mengendalikan syahwatnya hanya pada yang halal, maka jaminannya surga.

Untuk itu, kita mesti bisa melatih jiwa dengan sabar agar tidak terbiasa menuruti hawa. Kita mesti bisa melatih jiwa untuk mengendalikan syahwat. Jangan sampai syahwat dikendalikan oleh hawa yang pada akhirnya ia mencari apa yang disukai tanpa menimbang mana baik mana buruk, mana benar mana salah.

Selasa, 13 Agustus 2019

Hasil prediksi soal UAMNB 2